Arsip untuk April, 2012

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Beralihnya Tenaga Kerja Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Non Pertanian (Studi Kasus di Desa Kebonagung Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang) (117)

Normal
0

MicrosoftInternetExplorer4

st1\:*{behavior:url(#ieooui) }

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;}

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sasaran utama pembangunan itu adalah tercapainya suatu landasan yang kuat bagi  bangsa
Indonesia untuk tumbuh dan berkembang menuju masyarakat
yang  adil  dan  makmur 
 berdasarkan  Pancasila.  Dalam
 rangka
 pelaksanaan
pembangunan jangka panjang
pemerintah  menitik beratkan pada pembangunan dibidang ekonomi dengan sasaran utama mencapai keseimbangan antara pertanian
dan  industri.
 Agar
 pembangunan
 dapat
 dicapai
 maka
 pembangunan
 itu
 harus
dilakukan  secara  bersama-sama  oleh  masyarakat  dan  pemerintah.
 Masyarakat
merupakan komponen utama
pembangunan, sedangkan pemerintah mempunyai tanggung  jawab  untuk
 mengarahkan  dan  membimbing  agar  cita-cita
 nasional
dapat dicapai. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat harus dapat dukungan dari pemerintah.

Negara yang sedang berkembang biasanya menghadapi berbagai
masalah antara  lain  masalah  kemiskinan  dan  masalah
 tenaga
 kerja.
 Masalah  ini  dapat timbul   karena 
 tingkat 
 pertumbuhan   penduduk   yang 
 sangat 
 besar. 
 Jumlah penduduk yang besar akan menjadi
 salah satu modal dasar
pembangunan dan pendorong pembangunan apabila disertai dengan peningkatan kualitas penduduk.
Angka      pertumbuhan penduduk yang  tinggi    juga      dapat    menjadi beban pembangunan apabila
tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia itu sendiri.
Indonesia  sebagai
 salah  satu
 negara  yang
 sedang  berkembang,
 laju pertumbuhan penduduk masih tinggi dan ini menjadi permasalahan dimasa yang
akan  datang.
 Keadaan
 ini
 menyebabkan
 besarnya
 jumlah
 penduduk,
 struktur
penduduk   usia   muda, 
 dan 
 tingkat 
 pengangguran   tinggi, 
 serta 
 penyebaran penduduk yang tidak sesuai dengan sumberdaya alamnya. Pertumbuhan penduduk Indonesia  yang  sangat
 besar
 tersebut
 akan
 membuat
 struktur
 kependudukan
Indonesia bertumpu pada usia muda. Struktur penduduk usia muda
 memberikan gambaran besarnya
angka beban ketergantungan yang tinggi.
Dampak yang
wajar dari struktur penduduk usia  muda    adalah melimpahnya
 penduduk
 memasuki
 angkatan
 kerja.
 Sementara
 itu
 keterbatasan
kesempatan kerja  untuk    menampung      jumlah  angkatan kerja yang besar mengakibatkan  terjadinya
 tingkat
 pengangguran
 yang
 tinggi.
 Seiring
 dengan
meningkatnya  pengangguran  yang
 memasuki  angkatan  kerja  tersebut,  jumlah angkatan kerja yang memasuki
sektor kerja informal
semakin meningkat. Hampir dapat  dipastikan  bahwa
 gejala
 peningkatan
 jumlah
 pengangguran
 cendurung
diikuti dengan pekerja yang bekerja disektor informal.
Masalah 
pertambahan    penduduk bukanlah hanya sekedar masalah jumlahnya  saja.
 Ini
 merupakan
 problema
 kesejahteraan
 umat
 manusia
 dan
pembangunan.      Pertumbuhan    penduduk yang cepat    dapat mempunyai konsekuensikonsekuensi yang serius bagi kehidupan manusia
diseluruh dunia (Todaro, 2000).
Seperti
yang  telah  kita  ketahui  bahwa  faktor
 jumlah
 penduduk
 dapat
menjadi        faktor  penghambat      bagi      pembangunan umumnya dan      bagi ketenagakerjaan pada khususnya. Dari sebuah gambaran
tentang masalah tenaga kerja dipedesaan, sering dikemukakan bahwa angka pertambahan penduduk yang tinggi  menyebabkan
 berlimpahnya
 tenaga
 kerja,
 karena
 sektor
 pertanian
 tidak
mampu  menampung  seluruh  tambahan
 tenaga
 kerja.
 Ketidakmampuan
 sektor
pertanian  menampung  tenaga  kerja
 dikarenakan
 semakin
 berkurangnya
 lahan
pertanian.
Sebagaimana kita  ketahui  dinegara 
kita  menunjukkan  persediaan 
tanah garap yang luas,
namun pada akhirnya
semakin menyempit atau terbatas sebagai akibat banyaknya lahanlahan pertanian
yang dijual untuk pemukiman penduduk dan pendirian pabrikpabrik.  Luas lahan yang semakin sempit
tersebut menjadi tidak ekonomis
dalam berproduksi, sehingga  hasil
yang didapat sedikit.
Hal ini mengakibatkan pendapatan
petani berkurang, sehingga mengakibatkan banyaknya tenaga kerja yang beralih
pekerjaan ke sektor non pertanian
untuk mendapatkan pendapatan yang tinggi guna memenuhi kebutuhan mereka.
Melemahnya       penyerapan       tenaga  kerja    terhadap           sector
pertanian, menandakan adanya perubahan
struktur perekonomian di Indonesia, dari sektor
pertanian ke  sektor non pertanian. Salah satu penyebab
pergeseran ini adalah perkembangan  teknologi-teknologi  yang 
dapat  mengganti  tenaga 
kerja,  seperti penggunaan tenaga ternak, tenaga traktor, dan mekanisasi pemeliharaan tanaman, seperti landak dalam penyiangan. Selain itu tingkat
pendidikan juga berpengaruh
terhadap  beralihnya  seseorang  untuk
 bekerja
 ke
 sektor
 non
 pertanian.
 Pada
umumnya  seseorang  yang  mempunyai
 tingkat
 pendidikan
 yang   tinggi  lebih mampu  untuk
 memilih
 berbagai
 alternatif
 pekerjaan
 di
 sektor
 formal
 yang
dianggap menyenangkan dan lebih menguntungkan serta mereka lebih mampu
untuk  mengelola suatu usaha sehingga
mereka dapat memperoleh imbalan yang layak.  Tingkat
 pendidikan
 dalam
 hal
 ini
 dipakai
 sebagai
 salah
 satu
 alat
 ukur
kualitas tenaga kerja.
Semakin
 sempitnya
 kesempatan
 kerja  di  sektor  pertanian  kini
 mulai
menyadari  tentang pentingnya sektor non pertanian sebagai
salah satu alternatif untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sekelompok besar masyarakat pedesaan, khususnya 
kelompok  buruh  tani 
dan  petani  sempit. 
Fajri  (1985),  berpendapat bahwa di pedesaan yang rata-rata penduduknya juga  sebagai petani, akan tetapi pekerjaan diluar sektor pertanian
sudah mulai menjadi
harapan untuk penyerapan tenaga kerja yang terus meningkat.
Dengan berdasarkan uraian di atas maka peneliti
tertarik untuk melakukan
penelitian   dengan  melakukan
 studi
 kasus
 di
 Desa
 Kebonagung
 Kecamatan
Pakisaji  Kabupaten   Malang  dengan  judul    
 FAKTORFAKTOR  YANG MENYEBABKAN   BERALIHNYA  TENAGA   KERJA 
 DARI 
 SEKTOR PERTANIAN KE SEKTOR NON PERTANIAN”.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

Peranan Kelompok Tani Dalam Penyampaian Teknologi Baru Pada Petani Anggota Di Desa Boluroto Dan Banjarejo Kecamatan Manjarejo Kabupaten Blora (116)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian merupakan
sektor yang sangat penting dan dominan, hal ini ditunjukan  dengan
 banyaknya
 penduduk  yang
 tergantung  pada  pertanian.
Namun  melihat
 perkembangan
 yang
 terjadi,  pertanian  di  Indonesia
 belum maksimal.
Mulai dari  input  yang  digunakan sampai  output    yang dikeluarkanpun
belum bisa diandalkan.
Keadaan  tersebut 
bany;/span>ak disebabkan oleh  berbagai  faktor,  mulai dari keputusan petani dalam menentukan
komoditas, penggunaan faktor produksi, panen,  serta pasca panen yang masih tradisional. Selain itu pengetahuan dan pengalaman petani juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dari usaha tani yang dilaksanakan oleh petani.

Guna  menunjang  perkembangan  pertanian  perlu  diteruskan    dan disempurnakan  usaha
 penyuluhan 
 dan  pendidika pertanian, 
 juga 
 perlu
dilanjutkan  perbaikan   dan 
 perluasan  
prasarana,   pembukaan   lahan 
;span style=”mso-spacerun: yes;”> 
baru,
penyediaan  berbagai
 sarana  prosuksi
 yang
 memadai,
 kemudian  penyediaan kredit
dengan syarat yang tidak terlalu membebani bagi petani, serta penelitian
dan  pemilika
 teknologi   yang
 tepat,  yang  disebarkan
 keseluruh  daerah masyarakat petani ( Anonymous, 1988 ).
Untuk  mewujudkan
 sasaran 
pembangunan  pertanian  serta
 merespon perkembangan   globalisasi   perekonomian   dan 
 tuntutan  <span style="letter-spacing: 1.75pt;"= 
konsumen   yang semakin menekan pada aspek kontinuitas dan kualitas produk, maka pada PJP II  pemerintah  telah
 menekankan
 konsep
 sistem
 agribisnis  pembangunan pertanian  (Badan  Agribisnis,1995  dan  saragih,1998
 b)  melalui  SK.Manteri Pertanian     R.I No.96/KPTS/OT.210/2/94,  tentang  pembentukan   badan agribisnis
yang  mempunyai  tugas   pokok    melakukan  pembinaan    dan pengembangan
 agribisnis.
 Pendekatan  agribisnis
 lebih
 menekankan
           pada aspek  manajemen  penguasaan
 pasar
 (kebutuhan
 dan
 harapan  konsumen) tentang kualitas dan kuantitas produk, daya saing dan penggunaan teknologi.
Untuk memudahkan penyerapan informasi-informasi yang baru biasanya
dibentuklah   sebuah   wadah   untu menampung 
 informasi-informas yang
masuk.
 Wadah itu dinamakan kelompok tani, dimana melalui kelompok tani maka informasi
yang dibutuhkan bisa cepat tersampaikan kepada petani. Peran dan fungsi dari kelompok tani akan berjalan, apabila para anggota  yang ada
di dalamnya memahami fungsi dan peranan kelompok tani tersebut.
Dengan  melihat  latar
 belakang  tersebut,
 maka
 diperlukan  penelitian mengenai peranan kelompok tani dalam menyampaikan
teknologi baru pada petani anggota .
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

Analisis Pendapatan Dan Perkembangan Usahatani Bawang Merah (Allium Ascalonicum.L) Di Kabupaten Nganjuk (115)

Normal
0

MicrosoftInternetExplorer4

st1\:*{behavior:url(#ieooui) }

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;}

Sektor pertanian merupakan salah satu
sektor penunjang yang sangat penting dari pembangunan ekonomi di
Indonesia. Komoditas hortikultura telah
mendapatkan perhatian di samping tanaman pangan. Bawang merah merupakan salah
satu komoditas hortikultura terutama untuk daerah dataran rendah yang secara
nasional diprioritaskan pengembangannya.

Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu
Kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Timur yang mempunyai komoditas andalan
yaitu bawang merah. Melihat laju pertumbuhan penduduk yang begitu cepat,
kebutuhan pasar yang meningkat dan harga jual yang tinggi merupakan faktor yang
dapat merangsang petani untuk dapat meningkatkan produksi bawang merah baik
dari segi kuantitas maupun kualitas dan untuk meningkatkan pendapatan petani.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur biaya, pendapatan
dan efisiensi usahatani bawang merah (Allium ascalonicum. L) dan untuk
mengetahui perkembangan usahatani bawang merah (Allium ascalonicum. L)
di Kabupaten Nganjuk.
Penentuan tempat penelitian dilakukan dengan cara sengaja (purposive)
yaitu bertempat di Desa Nglinggo Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk. Pengambilan
sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Simple
Random Sampling
(Acak Sederhana) dengan responden adalah petani bawang
merah. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 40 responden
dari total populasinya sebanyak 200 responden. Pengambilan data dilakukan
dengan tiga cara yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan petani,
observasi dan dokumentasi. Berdasarkan sumber data yang ada diperoleh data
primer dan data sekunder.
Analisis yang
digunakan adalah: (1) analisis usahatani untuk menganalisis struktur biaya,
penerimaan, pendapatan dan efisiensi usahatani bawang merah  (2) Analisis Trend untuk mengetahui perkembangan usahatani bawang merah dalam
rentang waktu 12 tahun (1993-2004) di Kabupaten Nganjuk.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: (1) Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani bawang
merah sebesar Rp 33.181.751,75 per hektar; Penerimaan yang diterima oleh petani
dari hasil usahatani bawang merah sebesar Rp 45.865.000,00 per hektar;
Pendapatan per hektar yang diperoleh petani dari usahatani bawang merah sebesar
Rp 12.683.248,75. Nilai efisiensi (R/C Ratio) dari usahatani bawang merah
sebesar 1,38. Usahatani bawang merah di Desa Nglinggo Kecamatan Gondang
Kabupaten Nganjuk menguntungkan dan layak untuk dikembangkan lebih besar lagi
(2) Usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk mulai di usahakan sejak tahun
90-an. Trend luas lahan, produksi, produktivitas dan harga bawang
merah perkembangan usahatani bawang merah cenderung mengalami peningkatan
sehingga Kabupaten Nganjuk dijadikan sebagai salah satu penghasil bawang merah
di Jawa Timur.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

Peranan Penyuluh Pertanian Terhadap Kinerja Kelompok Tani (Studi Kasus Di Kecamatan Sukodono Kabupaten Lumajang) (114)

Normal
0

MicrosoftInternetExplorer4

st1\:*{behavior:url(#ieooui) }

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;}

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pembangunan
pertanian di Indonesia telah berkembang dengan pesat dan
telah mencapai hasil yang memuaskan yaitu telah dicapainya swasembada pangan (beras) pada tahun  1984. Secara bertahap perhatian
pemerintah dalam kegiatan
penyuluhan telah diarahkan
untuk  memenuhi kebutuhan petani serta titik berat
penyuluhan   telah   bergeser   dari 
 budidaya   tanaman   kepada 
 manusia   yang membudidayakan tanaman tersebut yaitu petani. Berbagai pendekatan
penyuluhan pertanian   yang   telah  
dilaksanakan   di   Indonesia   antara  
lain   :   pendekatan penyuluhan pertanian secara umum, secara komoditas, latihan
dan kunjungan, partisipasi,  proyek,
 sistem
 usahatani,
 sumber  dana  dan  secara  kelembagaan pendidikan (Suhardiyono, 1990).

Peran agen  penyuluhan  pertanian  adalah  membantu 
petani  membentuk pendapat        yang     sehat
dan membuat keputusan yang            baik
dengan      cara berkomunikasi
dan memberikan informasi yang mereka perlukan. Peran utama penyuluh dari  banyak negara
pada massa lalu dipandang
sebagai ahli teknologi dari peneliti ke petani.  Sekarang peranan penyuluhan lebih
dipandang sebagai proses  membantu
 mereka  untuk 
 mengambil  keputusan  sendiri  dengan
 cara
menambah pilihan-pilihan bagi mereka dan
 menolong
mereka mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi dari masing-masing pilihan
 tersebut (Van den
Ban dan  Hawkins, 1999).
Perencanaan penyuluhan pertanian di daerah di dasarkan atas kegiatan
penyuluh,   bukan  atas
 dasar
 kebutuhan
,span style=”mso-spacerun: yes;”> 
petani.
 Dalam
 sistem
 desentralisasi,
penyelenggaraan  penyuluhan  pertanian  seharusnya
 didasarkan
 atas
 kebutuhan
lokal.   Para 
 petani 
 perlu 
 diberi 
 kesempatan   untuk 
 berperan   aktif 
 dalam memperbaiki  mutu
penyuluhan pertanian sesuai dengan          kebutuhannya.
Kemampuan      petani untuk      berubah  sesuai   dengan             perubahan        lingkungan masyarakat  kini  semakin
 tinggi.   Begitu
 pula
 dengan
 kemampuannya
 untuk
menerapkan inovasi baru dibidang
pertanian karena adanya perubahan teknologi yang terjadi pada masyarakat sekitarnya. (Harun, 1996)
Kesediaan          petani   bekerjasama     dengan
penyuluh pertanian akan memudahkan
penyuluh pertanian dalam
mentransfer program
penyuluhan yang telah  ditetapkan. Kerjasama tersebut
misalnya dalam bentuk, kesediaan
petani untuk aktif dalam
pertemuan, pembuatan rencana
kelompok, pengadaan
saprodi, pengendalian  hama    dan
penyakit dengan     pengendalian     hama   terpadu, pemeliharaan
 dan   pengelolaan  irigasi,  pemasaran  hasil <span style="letter-spacing: 2.05pt;". 
dan  kegiatan  yang diadakan oleh penyuluh pertanian  lainnya misalnya : diskusi, kursus,
sarasehan dan lainnya (Anonymous,
2000).
Usaha-usaha  untuk  mengubah
 perilaku
 masyarakat  melalui  perubahan sosial yang direncanakan (planned social change). Merupakan salah satu tujuan program  penyuluhan  pertanian,
 dalam
 hal
 ini
 diarahkan
 untuk
 memperbaiki
sistem-sistem      sosial    yang     terdapat pada masyarakat dan  pada akhirnya
penyuluhan  ini  memperbaiki  mayarakat
 secara
 keseluruhan.
 
Sistem
 sosial
 ini
dapat berupa keluarga, rukun tetangga, kelompok dasa wisma, kelompok tani,
koperasi  unit  desa  dan  lain-lain.  Setiap  sistem
 sosial
 ini
 anggota-anggotanya
bekerja sama untuk  memecahkan masalah secara
bersama. Tujuan
bersama ini dapat berupa upaya
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan terhadap teknik budidaya  tertentu,  meningkatkan  ketersediaan   input  produksi  setempat  dan meningkatkan
produksi dan pendapatan petani (Harpowo, 1996).
Melalui   pengorganisasian           petani   dalam   kelompok-kelompok    maka diharapkan dapat terjalin kerjasama antar individu
dimana kelompok berfungsi sebagai kelas belajar, untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, sebagai unit produksi untuk mencapai skala ekonomis dan sebagai
kerja sama pengelolaan
usaha  taninya  mulai  dari  pengadaan  sarana  produksi
 sampai  pemasaran
 hasil
selanjutnya, dengan semakin meningkatnya mutu kerja
sama  yang dilaksanakan kelompok tani (Departemen
Pertanian, 1985).
Peran
Penyuluh   Pertanian dewasa ini     lebih dititikberatkan       pada pendekatan  kelompok,     yakni
 melalui  pembinaan
 kelompok  tani.  Hal  ini didasarkan  pada peran Penyuluh sebagai
pembimbing, sebagai teknisi,
sebagai agen penghubung serta sebagai organisator dan dinamisator yang mempengaruhi kelompok-kelompok tani. Adanya peranan
Penyuluh dalam pembinaan kelompok
tani akan sangat membantu terjadinya hubungan  interpersonal antara keduanya.
Sehingga  diharapkan  proses  transfer
 informasi  maupun
 adopsi
 inovasi
 akan
berjalan  dengan  lancar  yang
 pada
 akhirnya
 mampu
 meningkatkan   kinerja kelompok tani serta mengubah
kesejahteraan petani menjadi lebih
baik.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

Analisis Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit Di Kabupaten Kutai Timur (113)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pembangunan
Pertanian khususnya pada sub-sektor perkebunan pada masa  akan datang dihadapkan pada globalisasi
perdagangan internasional, karena itu perhatian harus difokuskan pada
komoditas-komoditas unggulan yang dapat bersaing dipasar domestik maupun
internasional. Salah satu komoditas pertanian yang mempunyai prospek besar
untuk meningkatkan pendapatan perkapita petani dan sekaligus sebagai sumber
devisa bagi daerah dan negara adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack). Komoditas sawit memiliki keungfulan yang
tinggi dibanding komoditas lain, karena merupakan bahan baku
dari berbagai industri  penting yang
sangat diburuhkan oleh masyarakat luas, seperti industri mentega, minyak
goreng, farmasi, kosmetik, industri sabun dan lain-lain

Pengembangan
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacg)
di Indonesia
sudah dimulai sebelum perang dunia ke dua, namun hanya dalam bentuk usaha
perkebunan besar. Pengembangan perkebunan besar kelapa sawit sampai dengan
tahun 1977 hanya memberikan dampak yang relatif sangat terbatas, baik dari segi
perkembangan luasannya, produksi maupun perkembangan dunia usahanya. Sejak
tahun 1977 – 1978 pemerintah Indonesia bertekad mengubah situasi tersebut
melalui berbagai pola pengembangan kelapa sawit, dengan melibatkan masyarakat. Semenjak
tahun 1977 pemerintah mencanangkan proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan
(PIR-BUN), antara lain PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan selanjutnya
sejak tahun 1986 muncul PIR Trans.
Sejak adanya
pola PIR-BUN, maka komposisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
berubah dengan cepat. Luas perkebunan rakyat tumbuh dengan kecepatan 50,2%,
sedangkan perkebunan negara 9,5%, dan perkebunan swasta 9,2%.  Pada tahun 1968 luas areal perkebunan kelapa
sawit baru mencapai 120 ribu Hektar, namun pada tahun 1978 menjadi 250 ribu
hektar. Hingga pada perkembangan selanjutnya, luas areal perkebunan kelapa
sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan.
Dari tabel 1
dapat dilihat bahwa luas areal kebun kelapa sawit dimasing-masing propinsi
untuk tahun 1997 – 2002. Secara
nasional, luas areal kebun kelapa sawit adalah  
2.516.079 Ha untuk tahun 1997, dan pada tahun 2002 mencapai
5.067.058 Ha. Hal ini berarti tingkat pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa
sawit di Indonesia mulai tahun 1997-2002 sebesar 200%, atau tumbuh 33,5%
pertahun. Hal tersebut disebabkan antara lain adanya pengembangan baru dari
propinsi Bangka Belitung, Banten dan Sulawesi Tenggara dan juga sebagai dampak
positif otonomi daerah. Pemerintah Daerah diberi kewenangan penuh untuk
mendayagunakan keunggulan komparatif (comparative
adventage
) menjadi keunggulan bersaing (competitive
adventage
).
Tabel 1. Luas Areal
Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (Ha).

</tr.

Propinsi
Tahun
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Nanggroe Aceh Darussalam
 
176.546 
196.912 
211.199 
310.802 
252.114 
257.684 
Sumatera Utara  
584.746 
603.247 
764.232 
  2.210.954 
869.074 
886.612 
Sumatera Barat  
130.138 
131.306 
213.336 
358.132 
266.387 
270.047 
Riau
522.434 
573.621 
731.823 
1.665.426
1.047.644 
1.238.106
Jambi  
195.460 
222.096 
389.849 
490.457 
422.503 
429.209 
Sumatera Selatan  
247.109 
278.761 
552.798 
676.804 
496.950 
516.928 
Bengkulu  
60.397 
65.359 
54.791 
85.066 
66.730 
70.409 
Lampung  
61.089 
68.606 
94.388 
132.665 
119.803 
131.362 
Bangka Belitung
0
0
0
89.225 
90.065 
Jawa Barat  
21.502 
21.502 
18.654 
4.274 
6.251 
6.251 
Banten
0
0
0
29.861 
14.080 
16.983 
Kalimantan Barat  
227.712 
266.035 
351.078 
433.582 
389.006 
406.372 
Kalimantan Tengah  
63.236 

$3C/td>

;span style=”font-size: 10.0pt;”>74.140 
191.331 
165.590 
217.666 
221.034 
Kalimantan Selatan  
69.241 
83.973 
101.585 
90.889 
129.673 
138.634 
Kalimantan Timur  
49.219 
68.938 
74.385 
99.377 
144.567 
191.146 
Sulawesi Tengah  
24.616 
34.426 
32.678 
31.786 
40.976 
47.029 
Sulawesi Selatan  
63.384 
77.184 
71.026 
133.887 
77.363 
83.085 
Sulawesi Tenggara
0
0
13.286 
19.941 
13.286 
13.285 
Papua
19.250 
22.677 
35.363 
48.105 
61.005 
52.817 
NASIONAL
2.516.079 
2.788.783 
3.901.802 
4.158.077 
4.713.435 
5.067.058 
Sumber: Departemen Pertanian, 2003
Sejalan dengan
perkembangan areal, produksi kelapa sawit juga mengalami peningkatan.
Pada
tahun 1997 produksi Tandan Buah Segar (TBS) nasional sebesar
5.380.447 ton, dan pada tahun
2002 mencapai
 9.622.344 ton. Hal ini berarti terjadi peningkatan
produksi sebesar 178,8% atau 29,8% pertahun.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

“Analisis Usaha Pada Pengolahan Produk Gula Kacang” (Studi kasus di Desa Takeran Kec. Takeran Kab. Magetan)…(95)

Kacang tanah merupakan salah satu dari komoditi pertanian yang termasuk tanaman palawija. Kacang tanah memiliki peran yang cukup penting dalam kehidupan manusia atara lain sebagai salah satu komoditi pangan yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi sehingga memiliki potensi yang cukup bagus untuk dikembangkan. Sebagai salah satu dari tanaman palawija, kacang tanah amat potensial dalam pengembangan program Nasional peningkatan produksi kacang-kacangan, sebagai sumber protein nabati serta bahan penganekaragaman pangan penduduk. 

Kacang tanah dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, yang salah satunya yaitu produk “gula kacang”. Pengolahan kacang tanah menjadi produk gula kacang mempunyai arti penting dalam menambah pendapatan keluarga dan memperbaiki ekonomi rumah tangga. Salah satu daerah yang terdapat usaha pengolahan produk gula kacang yaitu Desa Takeran Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan.
Tujuan dari peneltian ini adalah (1) untuk mengetahui proses pengolahan produk gula kacang, (2) untuk mengetahui masalah/kendala dalam usaha produk gula kacang, (3) untuk mengetahui biaya dan pendapatan usaha pengolahan produk gula kacang, (4) untuk mengetahui produksi dan harga impas pada usaha produk gula kacang, dan (5) untuk mengetahui besarnya efisiensi usaha pengolahan produk gula kacang. Dalam penelitian ini penentuan daerah dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa di desa Takeran Kec. Takeran Kab. Magetan terdapat usaha pengolahan produk gula kacang. 

Metode pengambilan data dilakukan dengan dua cara yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung dengan bantuan kuesioner yang sudah disiapakan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait yang dapat menunjang kelengkapan data primer serta dari literatur atau pustaka. Penentuan responden dilakukan dengan metode sensus, yaitu dengan mengambil semua responden yang ada di daerah penelitian.
Dari hasil penelitian, bahwa proses pengolahan produk gula kacang adalah; memasukkan semua bahan kedalam kwali dengan air ± 1 liter kemudian direbus dalam waktu ± 30 menit. Setelah masak langsung dicetak dan ditiriskan, kemudian jadilah produk gula kacang dan langsung dilakukan pengemasan. 
Adapaun masalah yang dihadapai oleh pemilik usaha rata-rata yaitu masalah harga-harga bahan baku yang tidak stabil, masalah masih minimnya modal, serta masalah dalam hal pemasaran.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata biaya total yang dikeluarkan per satu kali proses produksi sebesar Rp 517.677, dimana terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya tetap dalam usaha produk gula kacang ini yaitu penyusutan alat sebesar Rp 2.513, sedangkan biaya variabel sebesar Rp 515.164 yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, pengemasan, transportasi, dan bahan bakar (kayu bakar). Rata-rata penerimaan (pendapatan kotor) per satu kali proses sebesar Rp 570.228, sedangkan pendapatan bersih sebesar Rp 52.551. Adapun untuk besarnya produksi impas yaitu 593 bungkus, sedangkan besarnya produksi rata-rata sebesar 653 bungkus yang berada di atas produksi impas. Sedangkan harga jual rata-rata sebesar Rp 900, dimana berada di atas harga impas yaitu Rp 817. 
Dari hasil analisis bahwa usaha pengolahan produk gula kacang di Desa Takeran menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai R/C ratio rata-rata > 1, yaitu sebesar 1,10%. Ini berarti bahwa setiap pengeluaran sebesar Rp 100, maka akan diperoleh pendapatan sebesar Rp 110. Dengan demikian maka usaha pengolahan produk gula kacang tersbut layak diusahakan dan sangat baik untuk dikembangkan. 
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

Analisis Komparasi Usaha Tani Tebu Dengan Aplikasi Pupuk “Organik” Dan Pupuk An-Organik… (96)


Dalam menghadapi semakin langka dan mahalnya harga pupuk dipasaran mengakibatkan para petani tebu melakukan langkah-langkah alternatif yang dapat mengurangi tingginya biaya dalam membudidaya tanaman tebu. Langkah yang diambil para petani antara lain dengan cara mengubah sistem pertanian an-organik menjadi semi organik, yaitu dengan cara mengurangi jumlah pupuk jadi dan kekurangannya digantikan dengan pupuk kandang atau dengan pupuk hijau daun. 

Tujuan Penelitian adalah 1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan teknologi pemupukan dengan pupuk organik dan an-organik. 2. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan struktur biaya, produksi, pendapatan usaha tani antara penerapan teknologi pemupukan dengan pupuk organik dan an-organik pada tanaman tebu.
Batasan masalah dalam usaha tani tebu dengan pemupukan semi organik ini sudah tergolong usaha tebu dengan pupuk organik. Untuk tanaman tebu apabila menggunakan pupuk organik murni hasilnya tidak maksimal.
Metode penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dikecamatan Kandat kabupaten Kediri. 

Dengan pertimbangan bahwa didaerah tersebut banyak petani tebu. Metode penentuan sampel dilakukan secara sensus, dengan pertimbangan karena jumlahnya kurang dari 30 jiwa.
Berasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam usaha tani tebu semakin besar biaya produksi dengan luas lahan yang sama maka semakin besar pula tingkat pendapatan, dalam hal ini adalah usaha tani tebu organik yang dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lebih baik. 
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

“Analisis Komparasi Usaha Pengolahan Sari Apel di CV Bromo Semeru dan CV Nusa Agro Industri Kota Batu”…(97)

Salah satu komoditas pertanian yang terkenal di Kota Batu adalah apel. Apel (Malus syvestriss Mill) merupakan bahan baku yang digunakan dalam usaha pengolahan sari apel. Usaha pengolahan sari apel ini lebih banyak menggunakan apel sortiran (apel dengan kualitas rendah) kemudian diolah menjadi minuman sari apel dengan nilai jual yang lebih tinggi, sehingga mampu memberikan keuntungan bagi para pengusahanya dan dapat memberikan lapangan kerja. 

Jenis apel yang digunakan dalam usaha ini adalah apel rome beauty dan apel manalagi. Usaha pengolahan sari apel merupakan usaha skala kecil (skala rumah tangga).
Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui proses produksi pengolahan sari apel, (2) Untuk mengetahui perbandingan usaha pengolahan sari apel yang menggunakan jenis apel rome beauty dengan apel manalagi dilihat dari biaya, penerimaan, keuntungan, produksi, harga jual, tingkat efisiensi dan tingkat kelayakannya, (3) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam usaha pengolahan sari apel.
Penelitian ini dilakukan pada usaha pengolahan sari apel pada CV Bromo Semeru dan CV Nusa Agro Industri di Kota Batu. 

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa usaha pengolahan sari apel ini merupakan usaha yang sedang berkembang. Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data biaya, produksi, penerimaan, keuntungan dan data primer yang diperoleh melalui wawancara dan pengambilan dokumentasi peralatan serta produknya dari tempat penelitian. Adapun analisa yang digunakan adalah biaya, penerimaan, keuntungan, efisiensi (R/C ratio) dan kelayakan (B/C ratio). 
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

Analisis Usaha Penggemukan Ternak Sapi Potong Hasil Inseminasi Buatan Studi di Kecamatan Panti Kabupaten Jember … (98)


Penelitian dilakukan di Kecamatan Panti Kabupaten Jember pada bulan Pebruari 2006 sampai dengan April 2006. Penelitian bertujuan untuk mengetahui macam biaya, besarnya biaya, pertambahan berat badan setelah proses penggemukan sapi potong dari hasil inseminasi buatan. Penggemukan dilakukan selama 180 hari dengan menggunakan hijauan pakan ternak (sebagian besar rumput), ampas tahu dan “tumpi jagung”. Sampel diambil sebanyak 30 orang dari populasi sebanyak 61 orang dengan cara simple random sampling.
Sapi bakalan yang digemukkan berumur 7 bulan berkelamin jantan dengan alasan bahwa sapi telah lepas sapih, sehingga berat badan menurun. Pada saat inilah peternak dapat membeli bakalan yang relatif lebih murah karena harga bakalan berdasarkan timbangan berat hidup yaitu Rp 18.500 per kg. 

Hasil penelitian sebagai berikut :
Biaya yang diperlukan untuk penggemukan adalah biaya variabel yang terdiri atas pakan hijauan, ampas tahu, tumpi jagung dan obat ternak semuanya senilai Rp 5.823.116 untuk rata-rata pemilikan 1,33 ekor. Biaya tetap terdiri atas tenaga kerja, sewa lahan, depresiasi kandang adan alat serta bunga pinjaman sebesar Rp 589.590 , sehingga biaya total Rp 6.412.756.
Pertambahan berat badan selama 180 hari proses penggemukan sebesar 190,204 kg, yaitu berasal dari bobot awal rata-rata 266,12 kg dan bobot akhir 456,324 kg. Penerimaan utama berupa bobot hidup sebesar Rp 8.442.000 ditambah penerimaan sampingan (pupuk kandang) sebesar Rp 23.900 sehingga peneri,aam total Rp 8.456.900. Dari penerimaan dan biaya yang telah dikeluarkan dapat dihitung keuntungan usaha sebesar Rp 2.053.144. Jadi per ekor sapi selama 180 hari dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 1.540.243. 

Kelayakan usaha mencapai 1,320 sehingga dapat dikatakan cukup layak dan usaha penggemukan ini hanya sebagai usaha sampingan dari usahatani yang utama yaitu usahatani tanaman.
Uji signifikan menunjukkan t hitung ( 6,1315 ) lebih besar dari t tabel ( 1,699 ) pada dk = 29 dan tingkat kesalahan 5%, (uji satu pihak), maka Ho yang menyatakan bahwa tingkat efisiensi usaha penggemukan sapi potong dari hasil inseminasi paling kecil RCR = 1,2 harus diterima dan hal ini secara signifikan berlaku bagi seluruh populasi dari mana sampel diambil. 
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar

Penggunaan Power Thresher dalam Upaya Memperoleh Nilai Tambah Hasil Panen Padi Sawah ( Studi di Kel. Kebonagung Kec. Kaliwates Kab. Jember) … (99)


Penelitian dilakukan di kelurahan Kebonagung kecamatan Kaliwates kabupaten Jember pada bulan November sampai dengan bulan Maret 2006. Penelitian ditujukan untuk mengetahui besarnya biaya, produksi, harga, penerimaan, pendapatan, keuntungan dan tingkat efisiensi dari dua kelompok yang kan dibandingkan. Kelompok yang dibandingkan adalah kelompok petani yang menggunakan power thresher pada saat proses perontokan gabah hasil panen selanjutnya disebut kelompok A. Kelompok yang lain adalah kelompok petani yang menggunakan cara banting (tradisional) dalam merontokkan gabah hasil panennya, selanjutnya disebut kelompok B. Pengambilan sampel secara random sebanyak 30 orang untuk kelompok A dan 30 orang untuk kelompok B. Setiap kelompok diukur tingkat kelayakan usahanya dan kemudian dibandingkan untuk mengetahui adakah perbedaan tingkat efisiensi antara kelompok A dengan kelompok B. 
Hasil penelitian menemukan fakta-fakta sebagai berikut : Untuk kelompok A per ha memerlukan biaya total Rp 5.505.660. Produksi yang dicapai 5.820,2 kg dengan harga Rp 1.800/kg sehingga besarnya penerimaan Rp 10.476.398. Pendapatan kotor sebesar Rp 6.738.273 dan keuntungan usaha sebesar Rp 4.970.739.
Kelayakan usaha diukur dengan nilai RCR (Revenue Cost Ratio), untuk kelompok A ditemukan sebesar RCR = 1,902, sehingga nilai ini mengindikasikan bahwa usahatani padi sawah dengan menggunakan power thresher saat perontokan gabah dapat dikatakan cukup layak. Untuk kelompok B per ha memerlukan biaya total Rp 5.629.350. Produksi yang dicapai 5.672,69 kg dengan harga Rp 1.750/kg sehingga besarnya penerimaan Rp 9.927.218. Pendapatan kotor sebesar Rp 6.062.295 dan keuntungan usaha sebesar Rp 4.297.866.
Kelayakan usaha diukur dengan nilai RCR (Revenue Cost Ratio), untuk kelompok B ditemukan sebesar RCR = 1,760 sehingga nilai inipun dianggap cukup layak. 
Meskipun demikian tingkat efisiensi usaha kelompok B lebih kecil dibanding dengan tingkat efisiensi kelompok A yang dapat mencapai 1,902. Analisis statistik menunjukkan bahwa dengan uji t ditemukan bahwa t hitung > t tabel (8,5025 > 2,045) dengan dk = 29 dan tingkat kesalahan 5% uji dua arah. Oleh karena itu Ho yang menyatakan tidak terdapat perbedaan tingkat efisiensi antara kelompok A dan tingkat efisiensi usahatani kelompok B ditolak. Artinya memang terdapat perbedaan tingkat efisiensi usaha di antara ke duanya secara signifikan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa power thresher dapat memberi kontribusi yang cukup berarti dalam rangka meningkatkan keuntungan usahatani padi sawah. 
Unsur-unsur yang mendukung peningkatan keuntungan adalah kecepatan proses perontokan dan pembersihan sehingga menghemat waktumri Lebih penting lagi power thresher terbukti dapat mengurangi kehilangan gabah saat perontokan dan mengurangi kerusakan (pecah) butir gabah sehingga petani memperoleh nilai tambah dalam usahataninya. 
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Tinggalkan komentar